6 Tips Menulis George Orwell
JIKA ditanya siapa (salah satu) penulis favorit, nama yang kali pertama muncul dalam kepala saya adalah George Orwell. Pria yang secara ironis menjadi polisi imperialis inggris sekaligus membenci kolonialisme itu telah menancapkan kesan terlampau apik pada saya lewat pelbagai tulisannya: 1984 (novel), Animal Farm (novela), dan Bagaimana Si Miskin Mati (kumpulan esai)—ini hanya sebagian.
Orwell memiliki gaya tutur khas dan tegas. Pikirannya amat kritis dan futuristik. Dalam 1984, misalnya, ia membahas-mengolah linguistik secara cermat dengan menciptakan Newspeak untuk mendukung rezim otoritarian-totalitarian Big Brother. Di sini, ada setidaknya dua hal yang bisa kita ambil: pertama, Orwell menguasai betul linguistik sehingga novelnya jadi banyak sumber kajian akademik dalam bidang ilmu tersebut. Kedua, penggunaan materi tertentu harusnya memang mendukung jalan cerita.
Jika kita membaca 1984, kita juga akan disuguhi sebuah barang bernama teleskrin—sesuatu yang akan mengawasi gerak-gerik kita dalam 24 jam, bahkan di ruang-ruang privat. Bukankah ini terdengar familiar?
Ya, cctv! Ya, internet!
Apakah Big Brother bernama Negara sedang mengawasi kita? Atau, apakah Big Brother dengan nama lain, yakni Google, sedang merencanakan sesuatu?
Namun, saya tidak ingin membahas itu. Selain mewariskan kisah masa depan yang gelap, Orwell juga meninggalkan enam poin aturan menulis. Saya kira, ini akan berguna untuk teman-teman.
Pertama, jangan menggunakan metafora, simile, dan ungkapan mainstream
Orwell mengatakan ini dalam konteks ke-mainstream-an di media massa seperti koran, tetapi kita bisa menariknya lebih jauh: di mana saja!
Penggunaan majas seperti metafora yang terlampau sering akan membuat pembaca jenuh. Selain itu, penulis—yang notabene salah satu pengeksplorasi bahasa paling rajin—bakal tampak tidak kreatif. Tidak inovatif. Tidak memiliki iktikad untuk maju.
Masa zaman sekarang masih pakai “pinang dibelah dua”, “senyummu seindah mawar”, dan “seperti induk ayam kehilangan anak”? Big no!
Kita bisa menggunakan ungkapan yang lebih kekinian dan pas. Misalnya: ketika menyatakan seorang penjual toko daring bangkrut, kita bisa menggunakan “gulung akun” alih-alih “gulung tikar”.
Apabila kita menelusuri lebih lanjut, kita bisa menemukan alasan mengapa “gulung tikar” tercipta untuk menyatakan kebangkrutan. Dulu, sebagian pedagang menaruh dagangan di atas tikar—kadang dari daun pandan. Karenanya, pedagang yang sudah gulung tikar berarti bangkrut karena tak lagi menjual apa-apa.
Sekarang, ketika banyak orang sudah beralih ke etalase daring, mengapa kita masih menggunakannya?
Jika bisa menciptakan hal baru sekaligus membuat tulisan kita berbeda—khas, kenapa enggak?
Kedua, jangan gunakan kalimat panjang jika bisa pendek
Inti dari pernyataan ini adalah efektivitas berbahasa—begitu pula poin ketiga nanti. Seorang penulis kadang berusaha memanjang-manjangkan teks. Padahal, apa yang ia tulis sama sekali tidak membuat naskahnya lebih kuat, tidak membuat kalimatnya lebih berisi, tidak membuat narasinya lebih dramatis; ia tidak menulis apa pun kecuali omong kosong.
Sebagai contoh (ini sekaligus contoh untuk poin ketiga): Aku memberikan penjelasan kepada perempuan itu sehingga dirinya bisa paham apa yang kurasakan dalam hatiku yang paling dalam
Kita bisa membuat kalimat tersebut lebih ringkas: Aku menjelaskan perasaanku itu agar perempuan itu paham atau Aku menjelaskan perasaanku agar ia paham
Jika kita ingin membuat kalimat panjang, maka buatlah—asal setiap kata diperhitungkan! Penulis-penulis besar seperti Gabriel Garcia Marquez, Pramoedya Ananta Toer, dan Eka Kurniawan juga begini.
Oh, ya, kalimat panjang juga boleh digunakan untuk situasi tertentu, semisal untuk membuat narasi kita lebih dramatis.
Aku amat rindu. Aku kangen kamu. Aku cinta kamu
Kalau hanya dilihat dari segi bahasa, mungkin ini kurang efektif. Namun, karya sastra mengakomodasi lisensi puitika. Ungkapan di atas menunjukkan kedalaman perasaan si aku.
Ketiga, hapus sebuah kata jika bisa
Mari menyimak sebuah petikan naskah dari salah satu novela berikut.
Aku akan bertanya siapa nama aslinya dan juga alasan kenapa dia memanggilku dengan panggilan Sumarjan
Apakah kita bisa membuatnya lebih padat? Tentu!
Misal: Aku akan bertanya nama aslinya dan alasannya memanggilku “Sumarjan”
Bukankah ini lebih singkat?
Ingat, setiap hal yang kita tulis harus berfungsi.
Keempat, jangan gunakan suara pasif jika bisa aktif
Suara aktif berguna untuk membuat subjek lebih atraktif dan bertenaga—dan secara tidak langsung membuat naskah kita sama atraktifnya. “Sri mencincang daging kelelawar dengan ganas”, misalnya, lebih bertenaga dibandingkan “daging kelelawar dicincang Sri dengan ganas”. Meski begtiu, tidak selamanya kita wajib menggunakan suara pasif.
Sebagai contoh, jika kita ingin menampilkan seseorang atau sesuatu sebagai objek yang selalu menerima banyak hal (action), kita bisa menggunakan suara pasif.
Rudolf difitnah, dikambinghitamkan, dipenjara, dan dihina seumur hidup, tetapi ia diam.
Kelima, jangan gunakan istilah-istilah asing, saintifik atau jargon tertentu yang punya persamaan dengan bahasa dalam kehidupan sehari-hari
Siapa sih yang suka diajak ngobrol menggunakan bahasa yang tidak dipahami? Menulis pun begitu. Hanya karena kita menggunakan bahasa asing, bukan berarti kita lebih intelektual, lebih lokal, dan bakal dianggap pintar oleh pembaca.
Jujur saja, ini justru jadi salah satu masalah umum di kalangan akademisi—politisi juga kadang iya, sih. Banyak orang mengritik kebiasaan mereka menggunakan bahasa asing nan sulit yang tidak diketahui awam atau umum.
Tentu saja, aturan ini enggak mutlak.
Ada celah-celah yang bisa digunakan, misalnya, saat kita menulis naskah Sci-Fi yang mengharuskan menulis dengan istilah-istilah tertentu, cerita dengan lokalitas kental yang harus mencatut satu-dua bahasa adat agar lebih terasa, dan sebagainya.
Jadi, menulis cerita, lagi-lagi, harus sesuai konteks, kepentingan, dan terpenting: dilakukan secara sadar!
Keenam, langgar aturan ini jika terlalu membelenggu
Loh, masa kurang jelas?
Aturan dibuat untuk memudahkan dalam batas-batas tertentu. Kalau aturan ini justru membuat kita setop menulis, ya sudah trobos!
Menulislah dulu, bagaimanapun bentuknya, sebab kita punya waktu untuk menyunting.
Begitu.
Label: Menulis, Novel, Tips & Trick