Dari Mana Datangnya Ide Menulis?
PERTANYAAN mengenai
ide banyak berseliweran di mana pun: di media sosial, di seminar-seminar, di
antara obrolan-obrolan ringan.
Orang-orang bertanya:
dari mana ide bermula? Apakah ia muncul tiba-tiba? Bagaimana cara mengolahnya?
Kita barangkali suntuk
menghadapi pertanyaan yang melimpah itu, sebab jawabannya sesungguhnya sederhana:
ide berada di mana-mana, muncul kapan saja, dan ia bisa kita olah secara
variatif dan suka-suka.
Newton melihat apel
jatuh yang jadi awal mula teori gravitasi: ide!
Ahmad Tohari melihat
realitas sekitar dan lahirlah novel-novel legendaris seperti Ronggeng Dukuh Paruk: ide!
Para penyair menyulap
patah hati jadi sajak-sajak yang menyayat: ide!
Neil Gailman, salah
seorang penulis paling populer asal Portchester, memberikan nasihat penting
bagi para penulis: kamu mendapatkan ide
dari mengkhayal. Kamu mendapatkan ide dari rasa bosan. Kamu mendapatkan ide
setiap saat. Perbedaan penulis dengan orang biasa adalah kita sadar saat kita
melakukannya.
Ini adalah poin
penting bagi siapa pun yang menggeluti bidang kepenulisan. Banyak orang
mengeluh tidak memiliki ide untuk ditulis. Itu sebenarnya hanyalah dalih, sebab
seorang yang bermental penulis pasti akan selalu memiliki ide.
Ide-ide berdesakan di kepala. Yang sulit justru
mengendalikan ide-ide tersebut agar tidak membuat kita gila.
Yang jelas, hal
penting yang harus kita asah adalah kepekaan menangkap ide—juga mengolahnya.
Kita bisa mempertajamnya melalui beberapa cara berikut.
Membaca Buku dan Menonton Film
Kedua sumber ini
merupakan elemen penting dalam mencari ide sekaligus mengasah kepekaan kita.
Ketika kita membaca buku dan menonton film, kita melihat banyak hal
dipertontonkan: karakter (dan karakterisasinya), alur yang membosankan atau
mengejutkan, latar tempat yang biasa saja hingga menyenangkan, dialog bodoh
hingga fantastis, penggunaan diksi, dan lain sebagainya.
Membaca buku dan
menonton film adalah usaha untuk mencari hal-hal baru, atau melihat kembali hal
sama namun dalam perspektif yang bermacam-macam. Dari sana ide bisa lahir.
Bedah Karya
Mengapa ada karya
bagus dan karya buruk?
Jawabannya: tidak
semua orang yang menulis betul-betul paham atas apa yang dilakukan. Ia tidak
memahami perangkat literer yang digunakan, katakanlah diksi, kalimat, alur, dan
sebagainya. Sebagaimana yang disebutkan dalam subpoin sebelumnya, ketika
membaca buku atau menonton film, kita menemukan banyak hal—entah baik atau
buruk.
Kita bisa mengambil
pelajaran dari semua itu dan membuat daftar pertanyaan. Misalnya: mengapa
dialog A jauh lebih mengesankan dibanding dialog B? Mengapa second lead di kisah F lebih menarik
perhatian dibandingkan di kisah G?
Dari sana, jika tidak
malas, analisis-analisis kecil bakal lahir. Sebagai contoh:
1) Dialog A
menggunakan kalimat yang singkat, padat, sekaligus puitis dalam latar suasana
yang tegang dan mengharukan. Sementara dialog B cenderung bertele-tele, padahal
latar suasana sedang tegang dan harusnya tidak ada cukup waktu untuk berdialog
sepanjang itu.
2) Tokoh second lead di kisah F menghadapi
kompleksitas yang menyedihkan. Ia yang memiliki banyak kelebihan dan kasih
sayang pada tokoh utama harus kalah karena “takdir”. Inilah mengapa ia lebih
baik dibandingkan second lead di
kisah G yang hanya berambisi mendapatkan tokoh utama.
Banyak sekali penulis
yang tidak membedah karya, entah milik orang lain maupun milik sendiri,
sehingga membuat mereka tak belajar dari kesalahan-kesalahan lalu.
Mengamati Sekitar
Air yang jatuh dari
keran secara perlahan meski sudah ditutup, petani yang membawa anak kecilnya ke
sawah, hingga dosen yang sering menyingsingkan lengan kemeja saat mengajar bisa
jadi inspirasi untuk menulis.
Kita hanya perlu
mempertanyakan lebih lanjut: apakah keran tersebut sudah rusak? Kok bisa?
Mengapa sang petani membawa anaknya ke sawah? Apakah ia ingin anaknya kelak
jadi petani juga, atau apakah justru ia ingin menunjukkan secara langsung bahwa
menjadi petani itu susah dan karenanya si anak jangan sampai jadi petani?
Hayo?
Jalan-Jalan
Selain bikin otak dan
badan ter-refresh, jalan-jalan juga
bisa membuat kita menangkap begitu banyak ide. Ada seseorang yang hobi sekali
jalan-jalan saat sedang susah menulis; ia akan berjalan kaki 1-2 kilometer
secara pelan, sebab ia ingin melihat aktivitas di sekitar, dan dari sanalah hal-hal
baru bisa tertangkap sebagai ide.
Berimajinasi
Orang-orang seperti JK
Rowling dan Stephen King takkan mampu jadi penulis populer jika tanpa
berimajinasi. Bukan berarti imajinasi hanya untuk penulis fantasi, ya; penulis
genre apa pun harus mampu berimajinasi dengan baik.
Dengan berimajinasi,
kita mampu menemukan alternatif alur, penokohan, latar, dan lain sebagainya. Ingat
kata Einstein: yang tidak terbatas dalam diri manusia adalah imajinasi.
Yup, hampir semua hal
yang kita anggap sebagai teknologi sekarang berawal dari imajinasi
Berdialog atau Berdiskusi
Ini penting banget,
sih. Berdialog-berdiskusi membuat kita mampu memahami cara berpikir orang
lain—bagaimana ia memandang suatu persoalan yang bisa jadi amat berbeda dari
kita.
Semesta tiap orang berbeda, ditentukan latar belakang mereka dari begitu banyak aspek. Seorang penulis harus terbuka pada hal tersebut. Jika tidak, mustahil menulis sebuah karya yang memiliki kompleksitas luar biasa.
Bagaimana, siap
menulis? Yuk menulis bareng Metafora Pustaka!
Mimin Metafora Pustaka
Label: Menulis, Novel, Novela, Tips & Trick