Kamis, 25 Maret 2021

Dari Mana Datangnya Ide Menulis?

 

PERTANYAAN mengenai ide banyak berseliweran di mana pun: di media sosial, di seminar-seminar, di antara obrolan-obrolan ringan.

Orang-orang bertanya: dari mana ide bermula? Apakah ia muncul tiba-tiba? Bagaimana cara mengolahnya?

Kita barangkali suntuk menghadapi pertanyaan yang melimpah itu, sebab jawabannya sesungguhnya sederhana: ide berada di mana-mana, muncul kapan saja, dan ia bisa kita olah secara variatif dan suka-suka.

Newton melihat apel jatuh yang jadi awal mula teori gravitasi: ide!

Ahmad Tohari melihat realitas sekitar dan lahirlah novel-novel legendaris seperti Ronggeng Dukuh Paruk: ide!

Para penyair menyulap patah hati jadi sajak-sajak yang menyayat: ide!

Neil Gailman, salah seorang penulis paling populer asal Portchester, memberikan nasihat penting bagi para penulis: kamu mendapatkan ide dari mengkhayal. Kamu mendapatkan ide dari rasa bosan. Kamu mendapatkan ide setiap saat. Perbedaan penulis dengan orang biasa adalah kita sadar saat kita melakukannya.

Ini adalah poin penting bagi siapa pun yang menggeluti bidang kepenulisan. Banyak orang mengeluh tidak memiliki ide untuk ditulis. Itu sebenarnya hanyalah dalih, sebab seorang yang bermental penulis pasti akan selalu memiliki ide.

Ide-ide berdesakan di kepala. Yang sulit justru mengendalikan ide-ide tersebut agar tidak membuat kita gila.

Yang jelas, hal penting yang harus kita asah adalah kepekaan menangkap ide—juga mengolahnya. Kita bisa mempertajamnya melalui beberapa cara berikut.

Membaca Buku dan Menonton Film

Kedua sumber ini merupakan elemen penting dalam mencari ide sekaligus mengasah kepekaan kita. Ketika kita membaca buku dan menonton film, kita melihat banyak hal dipertontonkan: karakter (dan karakterisasinya), alur yang membosankan atau mengejutkan, latar tempat yang biasa saja hingga menyenangkan, dialog bodoh hingga fantastis, penggunaan diksi, dan lain sebagainya.

Membaca buku dan menonton film adalah usaha untuk mencari hal-hal baru, atau melihat kembali hal sama namun dalam perspektif yang bermacam-macam. Dari sana ide bisa lahir.

Bedah Karya

Mengapa ada karya bagus dan karya buruk?

Jawabannya: tidak semua orang yang menulis betul-betul paham atas apa yang dilakukan. Ia tidak memahami perangkat literer yang digunakan, katakanlah diksi, kalimat, alur, dan sebagainya. Sebagaimana yang disebutkan dalam subpoin sebelumnya, ketika membaca buku atau menonton film, kita menemukan banyak hal—entah baik atau buruk.

Kita bisa mengambil pelajaran dari semua itu dan membuat daftar pertanyaan. Misalnya: mengapa dialog A jauh lebih mengesankan dibanding dialog B? Mengapa second lead di kisah F lebih menarik perhatian dibandingkan di kisah G?

Dari sana, jika tidak malas, analisis-analisis kecil bakal lahir. Sebagai contoh:

1) Dialog A menggunakan kalimat yang singkat, padat, sekaligus puitis dalam latar suasana yang tegang dan mengharukan. Sementara dialog B cenderung bertele-tele, padahal latar suasana sedang tegang dan harusnya tidak ada cukup waktu untuk berdialog sepanjang itu.

2) Tokoh second lead di kisah F menghadapi kompleksitas yang menyedihkan. Ia yang memiliki banyak kelebihan dan kasih sayang pada tokoh utama harus kalah karena “takdir”. Inilah mengapa ia lebih baik dibandingkan second lead di kisah G yang hanya berambisi mendapatkan tokoh utama.

Banyak sekali penulis yang tidak membedah karya, entah milik orang lain maupun milik sendiri, sehingga membuat mereka tak belajar dari kesalahan-kesalahan lalu.

Mengamati Sekitar

Air yang jatuh dari keran secara perlahan meski sudah ditutup, petani yang membawa anak kecilnya ke sawah, hingga dosen yang sering menyingsingkan lengan kemeja saat mengajar bisa jadi inspirasi untuk menulis.

Kita hanya perlu mempertanyakan lebih lanjut: apakah keran tersebut sudah rusak? Kok bisa? Mengapa sang petani membawa anaknya ke sawah? Apakah ia ingin anaknya kelak jadi petani juga, atau apakah justru ia ingin menunjukkan secara langsung bahwa menjadi petani itu susah dan karenanya si anak jangan sampai jadi petani?

Hayo?

Jalan-Jalan

Selain bikin otak dan badan ter-refresh, jalan-jalan juga bisa membuat kita menangkap begitu banyak ide. Ada seseorang yang hobi sekali jalan-jalan saat sedang susah menulis; ia akan berjalan kaki 1-2 kilometer secara pelan, sebab ia ingin melihat aktivitas di sekitar, dan dari sanalah hal-hal baru bisa tertangkap sebagai ide.

Berimajinasi

Orang-orang seperti JK Rowling dan Stephen King takkan mampu jadi penulis populer jika tanpa berimajinasi. Bukan berarti imajinasi hanya untuk penulis fantasi, ya; penulis genre apa pun harus mampu berimajinasi dengan baik.

Dengan berimajinasi, kita mampu menemukan alternatif alur, penokohan, latar, dan lain sebagainya. Ingat kata Einstein: yang tidak terbatas dalam diri manusia adalah imajinasi.

Yup, hampir semua hal yang kita anggap sebagai teknologi sekarang berawal dari imajinasi

Berdialog atau Berdiskusi

Ini penting banget, sih. Berdialog-berdiskusi membuat kita mampu memahami cara berpikir orang lain—bagaimana ia memandang suatu persoalan yang bisa jadi amat berbeda dari kita.

Semesta tiap orang berbeda, ditentukan latar belakang mereka dari begitu banyak aspek. Seorang penulis harus terbuka pada hal tersebut. Jika tidak, mustahil menulis sebuah karya yang memiliki kompleksitas luar biasa.

Bagaimana, siap menulis? Yuk menulis bareng Metafora Pustaka!


Mimin Metafora Pustaka

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda